Pemanfaatan Internet dalam Gerakan Literasi Sekolah di SMP Taruna Bakti Kota Bandung
Pemanfaatan Internet dalam Gerakan Literasi Sekolah di SMP Taruna Bakti Kota Bandung
Oleh. Agus M Irkham
Abstrak
Gerakan membaca tidak berada di ruang kedap udara. Sebaliknya, karena ia lahir dari masyarakat maka kehadirannya sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat pula. Oleh karenanya, gerakan literasi seyogianya mengadaptasi perubahan dan kecenderungan yang tengah berlangsung. Satu hal yang paling mengemuka adalah perkembangan internet, khususnya social media. Ada dua hal bentuk adaptasi yang dapat dilakukan. Pertama, yang bersifat wadah atau sarana. Kedua, bersifat substansi. Mengambil yang paling mendasar dari internet dan social media yaitu, partisipasif, dan penghargaan atau apresiasi terhadap individu.
SMP Taruna Bakti Kota Bandung menjadi salah satu sekolah yang telah berhasil mengadaptasi perkembangan teknologi informasi kaitannya dengan upaya meningkatkan budaya membaca siswa, guru, dan pengelola sekolah. Melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS), selain kegiatan-kegiatan yang sifatnya offline seperti readathon (membaca senyap selama 42 menit), jumpa penulis (meet the author), West Java Leader’s Reading Challenge (WJLRC), GLS di SMP Taruna Bakti juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Quiz literasi, cyber literasi, dan video literasi adalah berapa contohnya.
Berdasarkan observasi dan analisis terhadap kecenderungan pengunjung dan peminjam buku di perpustakaan, penggunaan internet tersebut telah meningkatkan kegairahan tidak hanya siswa tapi juga guru untuk membaca, menganalisis, dan menulis. Tercermin dari entri bacaan buku siswa, input hasil membaca, input koleksi buku, input peminjaman dan pengembalian buku. Dengan demikian literasi tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan membaca tapi juga merespon atas apa yang dibaca tersebut. Dan respon itu bisa bersifat pribadi (personal) maupun umum.
Kata Kunci: Internet, SMP Taruna Bakti, Gerakan Literasi Sekolah
Latar Belakang Masalah
Survei terbaru tentang peringkat literasi internasional, Most Literate Nations in the World, menempatkan tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang dikaji atau peringkat kedua dari bawah. Survei yang dibuat Central Connecticut State University pada Maret 2016 tersebut, menyebutkan, Indonesia hanya satu tingkat lebih baik dari Botswana, sebuah negara kecil di Afrika.
Paling kurang ada satu ikhtisar penting yang dapat kita tarik dari hasil survei di atas. Yaitu sifat hubungan antara besarnya angka melek huruf dengan kemampuan membaca dan menulis ternyata tidak linear. Hasil survei tersebut seolah-olah menegasi perolehan prestasi kita atas penghargaan UNESCO Sejong Literacy Prize pada tahun 2012. Indonesia dinilai telah berhasil melampaui target pengurangan buta huruf dalam United Nations Literacy Decade (UNLD). Pada awal UNLD, tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut menjadi 7,54 juta orang. Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015.
Rumusan Masalah
Dari simpulan di atas, lantas timbul satu pertanyaan kunci: apa yang menyebabkan terjadinya kondisi paradoks keaksaraan tersebut. Langkah apa yang seyogianya dilakukan agar kebiasaan membaca—terutama siswa—menjadi tinggi, tanpa harus menafikan perkembangan teknologi informasi sekarang. Artinya mereka tetap bisa terhubungan dengan internet dan social media, tapi juga memiliki kebiasaan membaca buku yang tinggi.
Pembahasan
Ada berderet problem makro dalam industri perbukuan dan gerakan budaya baca yang berlangsung di Indonesia. Indeks reading per capita kita hanya 0,36 (sepertiga buku). Jauh di bawah negeri tetangga, Malaysia (1,07) bahkan Vietnam sekalipun (0,53). Jumlah penerbit, 90 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa. Secara nasional toko buku hanya berjumlah 1.500 yang artinya rerata jarak antar toko buku sejauh 1.281 kilometer. Itu pun dengan asumsi luas perairan yang kita miliki tidak dihitung. Dari jumlah tersebut 80 persen ada di Pulau Jawa. Jumlah perpustakaan di Indonesia hanya 61.477. Dari jumlah tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa, 36.929 perpustakaan (60 persen), Kalimatan 3.031 perpustakaan (4,9 persen), dan Maluku-Papua hanya 246 perpustakaan (0,4 persen).
Beberan perangkaan serta fakta di atas memunculkan masalah akut berupa berlangsungnya ketimpangan literasi antara Jawa dan luar Jawa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Wujud ketimpangan tersebut baik dari segi distribusi (buku) bacaan serta produksi. Yaitu berupa menumpuknya penulis yang ada di Jawa. Sehingga dalam lalu lintas wacana ilmu pengetahuan dan informasi masyarakat terutama di kawasan Indonesia Timur lebih banyak menjadi objek. Kontribusinya minim sekali terhadap pengetahuan yang terpadatkan dalam bentuk buku.
Persoalan infrastruktur buku, secara makro juga turut mempengaruhi rendahnya budaya baca masyarakat kita. Selain itu, satu hal yang dapat saya ajukan untuk menjawab pertanyaan kunci yang muncul di rumusan masalah di atas adalah kehadiran internet. Berdasarkan lembaga riset pasar e-Marketer, jumlah pengguna internet (netter) pada tahun 2014 saja sudah mencapai 83,7 juta orang. Jumlah tersebut mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia (www.kominfo.go.id).
Menurut Nicholas Carr (The Sh@llows, 2011) internet tidak saja telah berhasil mengubah cara berfikir orang tapi juga bisa mendangkalkannya. Menurunkan kemampuan membaca dan menulis secara drastis. Kehadiran internet, terutama social media yang semula disebut oleh Umberto Eco dapat mengembalikan orang kepada dunia teks, ternyata lebih banyak berhenti sebagai—meminjam istilah yang diberikan sejarawan cum filosof , Walter Jackson Ong—residu kelisanan (orality secondary). Yaitu keaksaraan yang masih sangat kental dipengaruhi oleh kelisanan.
Satu amsal yang dapat saya ajukan sebagai bukti adanya residu kelisanan adalah berupa kecenderungan orang untuk memindah secara mentah-mentah bahasa lisan ke bahasa tulis. Bukti lain adalah menggejalanya para netter (terutama di facebook) mengomentari satu tautan (link) hanya berdasarkan judulnya saja, tanpa membuka, membaca dan menganalisis isi tulisan di tautan tersebut. Tidak ada lagi proses mendaras untuk memahami suatu teks atau bacaan. Semua serba tergopoh-gopoh dan (sok) genting. Akibatnya, komentar yang muncul adalah komentar kategori “jaka sembung naik ojek” alias tidak nyambung.
Jadi di era digital native ini, yaitu adanya satu generasi yang sejak lahir hingga masa sekolah di SMA telah akrab dengan komputer, internet, animasi, membuat minat baca tinggi, tapi yang dibaca semakin pendek. Hal ini menguatirkan, karena mereka berfikir, dengan membaca sedikit saja, merasa sudah paham. Hal ini nampak pada situs-situs berita yang sifatnya running news. Artikel di media massa pun sekarang semakin pendek. Dulu satu artikel 5000-7000 karakter, sekarang hanya sekitar 3000 karakter.
Akibatnya dari membaca yang serba pendek itu, cara berfikirnya jadi tidak logis. Apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dilakukan. Jalan pikirannya pendek. Ketika ingin jadi pengusaha, alasannya ingin kaya. Karena baca bukunya Robert Tiyosaki, Rich Dad, Poor Dad. Dan kemudian banyak orang bikin seminar dengan kata kaya. Akibatnya orang punya pikiran bahwa untuk mendapatkan uang itu mudah. Muncul, fenemona dukun penggandaa uang.
Selain itu, risiko paling dekat dari kehadiran internet adalah mengubah komposisi penggunaan waktu sehari-hari. Jam-jam yang biasanya dapat digunakan untuk berkunjung ke kerabat, sahabat, kolega, membaca buku, menulis konsep, berdiskusi, hilang diganti dengan kesibukan chat dan menulis komentar-komentar pendek di social media.
Sedangkan lahirnya sebuah ide atau gagasan, lantas gagasan tersebut terejawantahkan dalam bentuk produk dan kegiatan—perolehan terjauh dari kemampuan keaksaraan— memerlukan banyak pertalian kejadian, pertemuan tidak sengaja, serta pembicaraan panjang yang menghadirkan segenap kedirian seseorang. Bukan deretan icon motion dan kata-kata afirmatif atau sebaliknya, yang pendek, klise, dan formalistik.
Persis seperti apa yang pernah diutarakan Steve Jobs, pendiri Apple dalam buku tentang kisah hidupnya yang dianggit Walter Isaacson (2011). “Meskipun dia penghuni dunia digital,” tulis Isaacson, “atau mungkin karena dia tahu betul potensinya untuk mengisolasi.” Jobs adalah pendukung kuat pertemuan tatap muka.
“Ada godaan dalam era online untuk berfikir bahwa ide dapat dikembangkan dengan email dan iChat. Itu gila. Kreativitas muncul dari pertemuan spontan, dari diskusi acak. Anda berjumpa seseorang, Anda bertanya apa yang sedang mereka kerjakan, Anda berkata ‘wah’, dan tidak lama kemudian Anda berdua membahas berbagai ide,” tandas Jobs.
Menjauh dari filsafat
Penyebab ketiga berlangsungnya paradoks keaksaraan adalah dominannya adagium Primum vivere deinde philosophari. Hidup dulu baru berfilsafat. Secara hipotetik dapat saya katakan bahwa masyarakat kita, budaya berfikir, terutama berfikir secara mendalam tidak terlalu banyak menarik perhatian. Sempit dan dan kerasnya penghidupan kerap dijadikan dalih untuk tidak berfikir, alih-alih berfilsafat.
Padahal hal paling ideal atau mendasar dari keaksaraan, lebih-lebih di era sekarang adalah kemampuan dan kesediaan untuk berfikir mendalam. Ada proses learn dan relearn. Dan tentang ini jauh-jauh hari, futurolog Alvin Toffler telah mengingatkan kita. The illiterate in the twenty first century will not be those can not read and write but who can not learn, un learn and relearn. Buta huruf di abad 21 bukan mereka yang tidak dapat membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar (learn), melupakan apa yang telah mereka pelajari (unlearn) dan tidak mau mempelajari sesuatu hal yang baru (relearn).
Dengan demikian dalam pandangan penulis buku Future Shock (1970) itu, seseorang yang telah melek huruf namun tidak disertai dengan semangat untuk terus belajar, tertutup terhadap perubahan dan hal-hal baru, serta menganggap angin lalu apa-apa yang telah dipelajari—tidak berfilsafat—secara substansi sejatinya mengalami buta huruf (illiterate).
Meskipun sudah bisa diduga sebelumnya, hasil riset Central Connecticut State University dapat kita jadikan pengingat sekaligus momentum untuk membangun budaya literasi di tanah air. Bukan melalui kegiatan seremonial dan jangka pendek. Bukan melalui serbuan kalimat-kalimat sloganistik, tapi dengan kegiatan yang dapat mengembalikan manusia pada fitrah asasinya: berinteraksi tatap muka dan berfikir.
Gerakan Literasi Sekolah
Situasi paradoks keaksaraan di atas tidak lantas membuat pemerintah dan masyarakat sipil berpangku tangan. Pada tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 21/2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Permen tersebut dijalankan melalui serangkaian kegiatan harian. Satu diantaranya berupa kewajiban siswa membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai.
Sebagai upaya untuk mensukseskan Permen tersebut, ia meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem pendidikan dalam rangka membentuk manusia pembelajar.
Permen tersebut semakin menemukan dasarnya di tengah rendahnya indeks budaya baca kita yang dikeluarkan oleh UNESCO, The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan Programme for International Student Assesment (PISA-OECD).
Literasi budaya
Titik terjauh dari gerakan literasi adalah terwujudnya masyarakat yang berbudaya membaca (literasi budaya). Sejatinya ini yang harus dikejar dan menjadikan ultimate goals. Namun untuk sampai pada kondisi suatu bangsa yang menjadikan aktivitas membaca (buku) sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari tidak mudah, lantaran tidak bersifat otonom. Sebaliknya, ia berkelindan dengan faktor-faktor yang justru di luar jangkauan masyarakat.
Tidak melulu berhubungan dengan konsumsi buku, tapi juga berkaitan rapat dengan proses produksi dan distribusi buku itu sendiri. Mulai dari akses gratis terhadap bahan bacaan, terutama buku (jumlah perpustakaan dan taman bacaan), keragaman jenis bacaan, jumlah judul buku yang memadai, jumlah dan distribusi penerbit dan toko buku, harga yang terjangkau (tercermin dari angka Book Production Consumption-nya), regulasi perpajakan (reduksi pajak penghasilan) yang bisa mendorong orang per bulannya untuk belanja buku lebih banyak, hingga penghapusan PPN buku dan input produksi.
Lantas bagaimana GLS harus dijalankan dalam era digital native tersebut?
Ada dua fakta menarik dalam gerakan literasi di tanah air yang harus saya ungkap di sini. Pertama, yaitu maraknya kegiatan pustaka bergerak. Mulai dari kuda pustaka, perahu pustaka, hingga motor pustaka. Dengan menggunakan kuda, perahu dan motor para pegiat literasi menyambangi para pembaca, terutama anak-anak. Dan tidak ada anak-anak yang tidak gembira pada saat mereka didatangi.
Mereka sangat gembira karena disapa dengan penuh rasa akrab dan sayang. Bukan sapaan yang bersifat perintah dan teknis fungsional. Mereka dipanggil dari sisi kedirian mereka. Diajak bicara, ditanya perasaannya, ditawari untuk bermain bersama. Sambil bermain tersebut mereka dikenalkan pada buku. Dari sini, akhirnya tanpa disuruh-suruh mereka mulai memegang buku dan mendarasnya.
Dalam situasi seperti itu, pada saat para pegiat literasi ini akan pamit, anak-anak menahannya. Mereka tak merelakan motor, kuda, dan perahu baca pergi.
Fakta kedua berupa maraknya orang bersocial media yang bentuk semakin beragam. Mulai berupa flickr untuk foto-foto, YouTube untuk video, forum (mailing list group), blog, wikis, del.icios.us untuk link bookmark, dan Slideshare untuk presentasi (Nara, 2011). Jumlah pengguna twitter kita lebih besar dibandingkan Kanada. Jumlah jamaah facebookers kita menempati tiga besar dunia. Tanpa ada kampanye peningkatan koneksi internet, semua bergairah menghubungkan handphone pada jaringan internet. Tanpa ada kehebohan menebar virus kartu handphone, angka simcard di Indonesia melebihi jumlah penduduk.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Ada satu hal yaitu, melalui handphone dan social media, mereka dapat menciptakan peristiwa. Mereka memperoleh penghargaan dan eksistensinya diri melalui internet. Substansi ini pula yang terjadi pada gerakan literasi melalui pustaka bergerak. Anak-anak suka buku dan membacanya bukan lantaran buku itu sendiri, tapi kegembiraan yang tercipta lantaran kedatangan para relawan yang menawarkan kegembiraan melalui acara, kegiatan dan peristiwa-peristiwa yang mereka ciptakan/lakukan.
Dengan demikian, adaptasi terhadap munculnya generasi digital native tidak harus dalam bentuk pemanfaatan gadget dan media digital lainnya tapi pada kemampuan mengadoptasi hal-hal yang lebih esensial yaitu kemampuan menciptakan peristiwa, dialetika, dan “kebebasan” untuk mengekpresikan pendapat dan perasaannya.
Maka diperlukan pustakawan dan relawan yang kreatif, mampu mengenalkan literasi sebagai media untuk memantik keberanian anak-anak memaknai kehadiran dirinya melalui apa yang dibaca. Maka fokus kegiatan tidak pada menceritakan kembali apa yang baru dibaca, tapi pada pancingan-pancingan pertanyaan yang membuat anak-anak berani mengungkapkan hal-hal yang personal saat membaca.
Misalnya kenapa ia memilih buku satu buku tertentu, saat membaca apa yang dirasakan. Sedih atau gembira. Jika gembira, apa sebabnya dan seterusnya. Jadi fokusnya bukan pada aspek-aspek kognitif melainkan seluk beluk yang menyangkut ranah afektif (motivasional). Respon-respon yang bersifat individual.
Maka gerakan literasi yang harus dilakukan sekarang adalah dengan mengadaptasi perkembangan lingkungan (teknologi dan perilaku masyarakatnya) baik dari sisi yang terlihat dan terbaca (permukaan atau luaran), dan tidak terlihat (substansial). Dan keduanya telah dilakukan oleh SMP Taruna Bakti Kota Bandung sejak Juli 2016 lalu.
Melalui program literasi SMP Taruna Bakti, yaitu pengembangan budaya minat baca disekolah. Program yang dilaksanakan untuk seluruh warga SMP Taruna Bakti Bandung. Ciri khas kegiatan literasinya berbasis IT (Information Technology), pemanfaatan IT, internet, blog, google form, dan aplikasi excel. Menjadi SMP pertama di kota Bandung yang mengembangkan Literasi berbasis IT. SMP Taruna Bakti hendak membangun literasi sekolah yang dalam konteks GLS adalah meningkatkan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sumber-sumber informasi secara cerdas melalui aktivitas membaca, melihat, menyimak, menulis, dan atau berbicara.
Pemanfaatan IT dalam GLS di SMP Taruna Bakti dengan membuat blog yang beralamat di www.literasismptarbak.wordpress.com. Melalui blog tersebut para siswa, guru dan staf dapat berperan aktif dengan mengisi menu-menu yang telah disediakan. Beberapa di antaranya pertama, entri bacaan buku siswa. Para siswa mengisi form yang memuat nama, kelas, nomor absen, judul buku, pengarang, tahun terbit, jumlah halaman, tanggal mulai dibaca, apakah buku yang sedang dibaca tersebut akan dihibahkan ke sekolah. Sampai saat ini (Maret 2016) telah ada 849 buku yang telah dibaca siswa
Kedua, input hasil membaca. Menu ini berisi kolom-kolom yang harus diisi. Meliputi nama, kelas, nomor absen, judul buku yang telah selesai dibaca, pengarang, ringkasan buku (minimal 3 paragraf, tiap paragraf terdiri atas 5 kalimat), hikmah dari buku yang dibaca, cuplikan kalimat sarat makna yang bisa digunakan untuk quote, dan tangal selesai membaca buku.
Sedangkan untuk para guru dan staf ada menu input koleksi buku, peminjaman dan pengembalian buku. Berisi aktivitas pengelolaan buku. pengelolaan Dikelola (diisi) langsung oleh guru SMP Taruna Bakti.
Pemanfaatan TI tidak hanya terbatas pada pengisian basedata terkait aktivitas membaca, tapi juga berupa produk dari hasil membaca. Yaitu berupa
review buku dan quote yang diperoleh dari membaca buku. Menariknya, review buku yang memuat aspek 5W (What, Who, When, Where, Why) + 1H (How) + MS (Moral Story) dibuat dalam bentuk gambar, sehingga terlihat atraktif dan menarik. Memantik orang yang melihat sekilas tertarik untuk membacanya.
Guna memancing rasa ketertarikan civitas academica SMP Taruna Bakti, di blog ada menu quiz literasi yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan buku. Misalnya tentang tebak nama sastrawan, nama penulis dari suatu judul buku dan atau quote.
SMP Taruna Bakti juga memanfaatkan blog untuk membangun jaringan dengan sekolah-sekolah lain yang tengah melaksanakan GLS. Kita bisa melihatnya di menu video literasi dan cyber literasi. Di samping itu ada pula reportase yang berkaitan dengan kegiatan literasi yang bersifat offline. Seperti
seperti readathon (membaca senyap selama 42 menit), jumpa penulis atau meet the author—pernah menghadirkan Pidi Baiq penulis novel remaja Dilan—dan
West Java Leader’s Reading Challenge (WJLRC).
WJLRC merupakan program tantangan membaca dari para pemimpin pemerintahan Jawa Barat untuk para guru dan peserta didik di sekolah. Kegiatan in merupakan tahapan pengembangan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dilaksanakan di Jawa Barat. Program kerjasama antara Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dengan The Crown in Right of the State of South Australia.
Tujuan program WJLRC adalah (1) meningkatkan daya nalar peserta didik agar menjadi lebih baik, (2) kegemaran membaca melalui pembiasaan membaca, (3) kecepatan dalam membaca serta menyimak bacaan, (4) mendorong tumbuhnya karakter positif peserta didik (percaya diri, dan menghargai pendapat teman) dan (5) kemampuan mereview dan menganalisis hasil bacaan.
Para peserta program WJLRC diberikan tantangan membaca, mereview, dan berdiskusi minimal 24 buku (bagi peserta didik) dan 10 buku (bagi guru perintis) dalam waktu 10 bulan dan mengunggah hasil review ke website literasi Jawa Barat serta menulis catatan harian tentang pengalaman kejadian sehari-hari (minimal 50 kata) di gawai atau buku harian. Rentang waktu tantangan mulai
Desember 2016 hingga September 2017.
Simpulan
“Kaum optimis, adalah mereka yang melihat lampu hijau di semua tempat,” ungkap Albert Schweitzer (1875-1965). “Sebaliknya, kaum pesimistis hanya melihat lampu merah,” tambah filsuf, musisi, dan teolog asal Jerman ini.
Saya melihat ada tiga perubahan mendasar yang harus dilakukan para pengelola sekolah—khususnya pustakawan dan staf perpustakaan—berkenaan dengan pemanfaatan internet, khususnya media sosial dan peningkatan budaya baca (GLS), terutama setelah menyaksikan kegiatan yang berlangsung di SMP Taruna Bakti Kota Bandung
Perubahan mendasar tersebut pertama, adalah paradigma sedikit bicara, banyak bekerja (talk less do more) seyogianya segera diakhiri. Situasi zaman, dimana dunia tidak lagi selebar daun kelor tapi sudah selebar jari jempol, telah memantaskan tiap diri dan komunitas untuk banyak bicara sekaligus banyak bekerja (talk more do more). Pewartaan atas satu kegiatan, akan melahirkan inspirasi, potensi kebaikan, dan kegiatan yang lebih luas lagi. Dengan begitu kesempatan untuk saling mengisi, melengkapi, dan belajar menjadi demikian lebar.
Pengembangan budaya baca di era digital native sekarang ini mensyaratkan adanya pengelola yang melek teknologi informasi (internet), bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, aktif di situs jejaring sosial (facebook, twitter), mahir menulis, sekaligus narsis. Upaya ”menjual” citra diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan perpustakaan dan budaya membaca. Oleh karenanya tiap sekolah dan pengelolanya sudah sewajarnya memiliki blog/website.
Kedua, saat melaksanakan GLS harus mampu mengeksplorasi karakteristik siswa, guru dan staf (civitas academica) dan memperkayanya melalui program-program pendokumentasian arsip virtual (elektronik). Sehingga mudah diakses dan dimanfaatkan oleh stakeholders sekolah tersebut. Tidak hanya terbatas pada warga sekolah tersebut, tapi juga masyarakat luar, bahkan dunia—jika sudah diunggah ke internet (website/blog/media sosial).
Ketiga, GLS harus mampu menciptakan ruang dan kesempatan bagi warga segenap warga sekolah untuk berpartisipasi. Ambil bagian dalam pengembangan budaya baca. Ada azas desentralisasi, semua berada di posisi dan peran yang sama. Masing-masing tidak berdiri di tempat yang lebih tinggi atau lebih penting dibandingkan orang lain.
Nah, jika keduanya dilakukan, positioning perpustakaan dan Gerakan Literasi Sekolah akan bergeser. Semula berbasis pada kepemilikan, menjadi beralih ke keterbukaan akses. Dari pelayanan teknis (klasifikasi; katalog) ke orientasi pelayanan publik. Dari koleksi yang melulu kertas ke paperless (audio-video-teks dalam bentuk file). Dari sifatnya yang semula aksesoris ke solusi atas problem-problem nyata yang dihadapi siswa, guru dan para staf. Dari yang semula bersifat eksklusif (lokal) menjadi inklusif (mondial).
Daftar Bacaan
Agus M. Irkham, Momentum Tamu Kehormatan, Kompas 9 Juli 2015
……………….., Bestseller Sejak Cetakan Pertama, 2007. Solo: Indiva.
Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Menengah Pertama. Tahun 2016.
Gol A Gong, Gempa Literasi, Februari 2012. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Nicholas Carr, The Sh@llows, Cetakan I Juli 2011. Bandung: Bandung.
Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21/2015 tentang penumbuhan budi pekerti.
Walter Isaacson, 2011. Steve Jobs. Yogyakarta: Bentang.
www.literasi.smp.tarunabakti.sch.id
Hey. saya. Sangat menyukai Artikel anda sangat menolong untuk Kami semua para pecinta Berita Lucu